BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hal berolahraga kita mengamati lebih mendalam
penampilan-penampilan para atlet, dalm makalah ini atlet sebenarnnya meliputi
berbagai aspek yaitu dari berbagai bentuk, perkembangan disiplin bagi atlet,
menanamkan disiplin, bersikap obyektif mengenali diri sendiri, dan juga
mengenali diri sendiri. Dari bentuk-bentuk disiplin dan pengendalian diri ini
kita sebagai atlet bisa memahami lebih mendalamnnya.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan disiplin?
2.
Apa yang
dimaksud dengan rasa percaya diri?
3.
Apa saja
jenis-jenis dari disiplin?
4.
Bagaimana
cara pembinaan displin dan rasa percaya diri dalam berlatih?
5. Sebutkan faktor yang menentukan kesiapan
metal bagi atlet?
1.3 Manfaat
Sebagai mahasiswa olahraga, kita harus mengetahui
betapa pentingnya pengendalian diri bagi diri kita. Sebab pengendalian diri
atau disiplin yang tertanam dihati para atlet bisa suatu dorongan semangatnnya
kita melakukan latihan disaat stres yang kita alami diluar yang bisa
menenangkan hati dan pikiran agar berkonsentrasi melakukan latihan.
1.4 Tujuan
1.
Agar pembaca
dapat mengerti tentang displin.
2.
Agar pembaca
dapat mengetahui tentang rasa percaya diri.
3.
Agar pembaca
dapat mengerti jenis-jenis disiplin.
4.
Agar pembaca
dapat mengetahui cara pembinaan disiplin dalam berlatih?
5.
Agar pembaca
dapat mengerti faktor yang menentukan kesiapan metal bagi atlet.
6.
Agar pembaca
dapat mengetahui peran pelatih dalam membina kesiapan mental atlet.

PEMBAHASAN
DISIPLIN DAN PENGENDALIAN DIRI
Kehidupan social adalah kehidupan yang penuh dengan
nilai-nilai. Disiplin seseorang terlihat dari kesediaan untuk mereaksi dan
bertindak terhadap nilai-nilai yang berlaku, yaitu nilai-nilai yang tertuang
atau yang terwujud dalam bentuk ketentuan, tata-tertib, aturan, tatanan hidup
atau kaidah-kaidah tertentu.
Kesediaan mereaksi dan bertindak terhadap obyek
tertentu adalah sikap kejiwaan. Atau “attitude”, yang sementara orang
menyebut sebagai sikap mental. Menurut Fren N. Kerlinger (1975) sikap
kejiwaan selalu dihadapkan pada pilihan menerima atau menolak, bertindak
positif atau negative, dalam hubungannya dengan obyek tertentu.
Menurut Tutko dan Richards (1975) menegaskan bahwa disiplin :
1. mengutamakan dan mengatur kondisi fisik
2. pengembangan penguasaan emosi
3. menciptakan citra sebagai olahragawan yang
sebenarnnya.
2.1 Perkembangan Disiplin

Sesuai teori belajar maka pengaruh pendidikan akan
besar terhadap perkembangan sikap dan tingkah laku manusia. Tiga masalah utama
dari jenjang yang dianggap paling penting adalah:
·
tidak
adannya disiplin
·
penggunaan
obat terlarang dan
·
kurikulum
yang kurang baik
Dalam olahraga atlet selalu menghadapi pilihan antara
melakukan ketentuan sesuai program latihan yang ditetapkan atau mangkir dari
latihan, antara patuh pada peraturan dan bertindak sportif dengan melanggar
peraturan asal dapat memenangkan pertandingan, dsb-nya.
Dalam bannyak hal bertentangan batin antara
mengutamakan kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum,
merupakan tatangan terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Motivasi untuk
mendapat kepuasan individu apabila tidak diimbangi dengan motivasi social yang
positif dan kuat, dapat menjurus kearah tindakan yang tidak patuh pada
nilai-nilai atau tindakan yang melanggar disiplin.
2.1.1 Disiplin Semu dan “ self-discipline “
Disiplin semu adalah disiplin yang tanpak dipemukaan
saja, kepatuhan yang dilandasi disiplin semu tidak dapat bertahan lama, karena
disiplin semu terjadi hanya pada saat pengawasan, disertai rasa takut pada
sangsi dan ancaman pelatih tanpa ada kesadaran.
Disiplin sering diartikan dalam kaitanya dengan
ancaman dan hukuman, dari sisi lain disiplin juga erat kaitannya dengan
pengawasan atau control dan proses belajar.
Prinsip mengontrol diri sendiri merupakan hal yang
terpenting dalam disiplin, atlet yang menunjukan kebiasaan selalu menepati
ketentuan, peraturan, dan nilai-nilai, berarti dapat mengontrol diri-sendiri
untuk tidak melanggar ketentuan dan peraturan ataupun nilai-nilai yang berlaku.
Disiplin ada hubungannya dengan sikap penuh rasa
tanggung jawab, karena atlet yang berdisiplin cenderung untuk menepati,
mendukung dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya. Sikap untuk mendukung
dan mempertahankan nilai-nilai yang dianutnnya, atlet akan berusaha untuk tidak
mengingkari dan sedapat-dapatnnya mematuhi.
Sehubungan dengan itu maka atlet yang disiplin akan
setia untuk menepati kebiasaan hidup sehat, mematuhi petunjuk-petunjuk
pelatihnya, setia untuk melakukan program-program latihan, sehingga memberi
kemungkinan lebih besar untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginnya.
Atlet yang memiliki disiplin diri sendiri sudah
memiliki kesadaran untuk berlatih sendiri, meningkatkan keterampilan, dan
menjaga kondisi fisik dan kesegaran jasmaninnya, dan dapat menguasai diri untuk
tidak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan peraturan atau yang dapat
merugikan diri sendiri dan lebih lanjut selalu akan berusaha untuk hidup dan
berusaha berbuat sebaik-baiknnya sesuai dengan citrannya sebagai atlet yang
ideal.
Disiplin yang disertai pemahaman dan kesadaran erat
hubungannya dengan sikap penuh tanggung jawab dan individu yang bersangkutan
cenderung berusaha menepati, mendukung, dan mempertahankan nilai-nilai yang
dianutnnya.rasa tanggung jawab yang dipatuhi, tidak mengingkari, dan harapan
akan kelangsungan nilai-nilai akang berkembang menjadi sikap hidupnnya
sehari-hari.
2.1.2 Peranan pelatih
Hubungan guru dengan murid merupakan hal yang sangat penting
dan sumber terbentuknnya disiplin yang baik dan yang buruk. Disiplin yang kaku,
dalam bentuk apapun akan dapat menghasilkan ketidak puasan, bahkan dapat
menimbulkan pemberontakan terhadap pemegang kekuasaan.
Menurut Tutko dan Richards (1975) yang cukup
menarik mengenai sikap pelatih, bagaimana seorang pelatih menghadapi atlet yang
ragu-ragu menjadi anggota team. Sebagai pelatih harus memiliki sikap tegas
untuk dapat membawakan pengaruhnnya sehingga atlet bersikap dewasa, menerima
peraturan dengan penuh kesadaran.pelatih harus mempunyai konsepsi yang mantap,
menguasai prinsip-prinsip pokok untuk menumbuhkan disiplin, harus dapat
mengarahkan kearah tindakan-tindakan yang positif-kontruktif memberi bimbingan
apabila diperlukan, dan mengawasi kemungkinan terjadinnya pelanggaran terhadap
peraturan dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.
2.2 Menanamkan disiplin
Penanaman disiplin harus dilakukan terus-menerus,
karena disiplin seperti halnnya sikap menusia lainya, selalu dapat berubah dan
dapat dipengaruhi. Dalam upaya pembinaan atlet kerja sama antara pelatih dengan
orang tua atlet sangat perlu.
Cara-cara otoriter dengan paksaan atau hukuman, James
Dobson (1986) mengukakan bahwa aktivitas penuh disiplin harus dilakukan
dalam suatu kerangka kerja penuh cinta-kasih dengan memahami perasaan subyek,
rasa hormat dan tanggung jawab subyek merupakan hasil cinta-kasih dan disiplin.
2.2.1 Penguasaan diri
Penanaman disiplin harus dilandasi pengertian pokok
mengenai disiplin, yang intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas
pemahaman dan kesadaran, serta tanggung jawab.
Menurut Robert S Ellis (1956) membedakan
perkembangan disiplin yang ditanamkan dengan pengawasan yang ketat, paksaan dan
hukuman yang sewajarnya, Menanamkan disiplin tidak harus dengan tindakan otoriter
ataupun kekerasan.
Disiplin menurut Robert S Ellis membedakan 2
pengertian, yaitu disiplin “under-control” : disiplin dengan pengawasan
dari luar, yang sedikit menjadi disiplin, sedangkan disiplin “self control”
yaitu disiplin yang didasarkan atas penguasaan diri untuk tidak melanggar
ketentuan dan peraturan, sesudah memiliki pemahaman dan kesadaran untuk selalu
patuh pada norma-norma. Menanamkan disiplin dengan menumbuhkan rasa tanggung
jawab untuk mematuhi dan mendukung nilai-nilai, ketentuan dan peraturan yang
berlaku, serta menumbuhkan rasa harga diri sebagai atlet yang disiplin, yang
mematuhi ketentuan dan nilai-nilai, maka perlu sekali menanamkan disiplin yang
dikaitkan dengan penguasaan diri.
Pelatih yang berusaha menanamkan disiplin dengan paksaan
dan hukuman, sekaligus agar berwibawa dimata atlet, mungkin dapat menciptakan
suasana penuh disiplin, namun disiplin yang tampak tersebut terbentuk atas
dasar rasa cemas dan takut hukuman semata-mata.
Sebagaimana ditegaskan Dobson (1986), rasa
hormat dan tanggung jawab merupakan hasil dari cinta-kasih dan disiplin,
sedangkan rasa tidak aman sebagian besar disebabkan oleh tidak kekerasan.
Pengawasan bukan dimaksudkan mencari kesalahan, tetapi lebih ditekankan pada
pemanfaatan untuk menujukan hal-hal yang baik dan yang kurang baik, kemudian
memberi kesepakatan pada atlet untuk lebih memahami, menyadari, dan lebih
lanjut menimbulkan dorongan, motivasi untuk berbuat sesuatu yang membanggakan.
Inti pokok disiplin pada hakekatnya adalah rasa
tanggung jawab dan penguasaan diri, apabila hal tersebut telah dimiliki oleh
atlet, maka ia akan mampu mengatur dirinya sendiri dan bertindak kearah pada
tujuan yang baik dan jauh dari pelanggaran nilai-nilai, norma-norma dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Menanamkan disiplin dan membina sikap atlet merupakan
bagian dari upaya mendidik atlet agar memiliki kepribadian yang baik dan
sikap-sikap yang positif-kontrukstif.
Peraturan-peraturan dan tata tertib merupakan hal yang
sangat perlu untuk menegakan disiplin, agar peraturan, serta tatatertib
betul-betul menjadi milik bersama. proses penyusunan peraturan dan ketentuan
tersebut perlu diperhatikan keterlibatan para Pembina, pelatih dan atlet.
Tutko dan Richards (1975) mengemukakan beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu:
§ citra film yang baik
§ keefektifan dalam penampilan
§ sikap-sikap pribadi terhadap tim
§ perasaan individual dari para pemain.
Masalah-masalah rumit yang dialami manusia, seringkali
dan bahkan hampir semua, sebenarnya berasal dari dalam diri. Mereka tanpa sadar
menciptakan mata rantai masalah yang berakar dari problem konsep diri. Dengan
kemampuan berpikir dan menilai, manusia malah suka menilai yang macam-macam
terhadap diri sendiri maupun sesuatu atau orang lain – dan bahkan meyakini
persepsinya yang belum tentu obyektif. Dari situlah muncul problem seperti
inferioritas, kurang percaya diri, dan hobi mengkritik diri sendiri.
Artikel berikut akan mengulas tentang konsep diri, apa
dan bagaimana konsep diri berpengaruh terhadap munculnya problem yang dialami
manusia sehari-hari.Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa
pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman
dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
konsep diri yang terbentuk.
Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan
menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Oleh sebab itu,
seringkali anak-anak yang tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan
negatif, atau pun lingkungan yang kurang mendukung, cenderung mempunyai konsep
diri yang negatif. Hal ini disebabkan sikap orang tua yang misalnya : suka
memukul, mengabaikan, kurang memperhatikan, melecehkan, menghina, bersikap
tidak adil, tidak pernah memuji, suka marah-marah, dsb - dianggap sebagai
hukuman akibat kekurangan, kesalahan atau pun kebodohan dirinya. Jadi anak
menilai dirinya berdasarkan apa yang dia alami dan dapatkan dari lingkungan.
Jika lingkungan memberikan sikap yang baik dan positif, maka anak akan merasa
dirinya cukup berharga sehingga tumbuhlah konsep diri yang positif.
Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya
tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka
waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi
sesaat. Misalnya, seorang merasa dirinya pandai dan selalu berhasil mendapatkan
nilai baik, namun suatu ketika dia mendapat angka merah. Bisa saja saat itu ia
jadi merasa “bodoh”, namun karena dasar keyakinannya yang positif, ia berusaha
memperbaiki nilai.
2.2.2 Konsep Diri
Konsep diri dapat didefinisikan secara umum sebagai
keyakinan, pandangan atau penilaian seseorang terhadap dirinya. Seseorang
dikatakan mempunyai konsep diri negatif jika ia meyakini dan memandang bahwa
dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten,
gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap
hidup.
Orang dengan konsep diri negatif akan cenderung
bersikap pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang dihadapinya.
Ia tidak melihat tantangan sebagai kesempatan, namun
lebih sebagai halangan. Orang dengan konsep diri negatif, akan mudah menyerah
sebelum berperang dan jika gagal, akan ada dua pihak yang disalahkan, entah itu
menyalahkan diri sendiri (secara negatif) atau menyalahkan orang lain.Sebaliknya
seseorang dengan konsep diri yang positif akan terlihat lebih optimis, penuh
percaya diri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap
kegagalan yang dialaminya.
Kegagalan bukan dipandang sebagai kematian, namun
lebih menjadikannya sebagai penemuan dan pelajaran berharga untuk melangkah ke
depan. Orang dengan konsep diri yang positif akan mampu menghargai dirinya dan
melihat hal-hal yang positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa
yang akan datang.
Dalam usaha dalam menghindarkan tindakan-tindakan
diskriminatif yang berdasarkan prasangka sosial itu, kiranya perlu sekali untuk
sekedar mengetahui bagaimana terjadinya prasangka sosial dan apa sebab-sebabnya
prasangka sosial itu dipertahankan orang yang sudah berprasangka itu.
Didalam macam-macam penelitian dan observasi-observasi
tampak bahwa misalnya pada sekolah-sekolah internasional tiada terdapat
sedikitpun prasangkan social pada anak-anak sekolah yang berasal dari
bermacam-macam golongan “ras” atau kebudayaan itu. Mereka baru akan
memperolehnnya didalam perkembangannya apabila mereka bergaul erat dengan
orang-orang yang mempunyai prasangka sosial. Dan hal ini berlangsung dengan
sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses-proses imitasi, sugessti,
identifikasi dan simpati yang memegang peranan utama didalam interaksi sosial
itu.
Seringkali diri kita sendirilah yang menyebabkan
persoalan bertambah rumit dengan berpikir yang tidak-tidak terhadap suatu
keadaan atau terhadap diri kita sendiri. Namun, dengan sifatnya yang dinamis,
konsep diri dapat mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Salah satu
langkah yang perlu diambil untuk memiliki konsep diri yang positif yaitu
bersikap obyektif dalam mengenali diri sendiri Jangan abaikan pengalaman
positif ataupun keberhasilan sekecil apapun yang pernah dicapai. Lihatlah
talenta, bakat dan potensi diri dan carilah cara dan kesempatan untuk
mengembangkannya. Janganlah terlalu berharap bahwa Anda dapat membahagiakan
semua orang atau melakukan segala sesuatu sekaligus. You can’t be all things
to all people, you can’t do all things at once, you just do the best you could
in every way....
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Bebetapa faktor yang dapat mempengaruhi proses
pembentukan konsep diri seseorang, seperti :
a. Pola
asuh orang tua
Pola asuh orang tua seperti sudah diuraikan di atas
turut menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi konsep diri yang terbentuk.
Sikap positif orang tua yang terbaca oleh anak, akan menumbuhkan konsep dan
pemikiran yang positif serta sikap menghargai diri sendiri. Sikap negatif orang
tua akan mengundang pertanyaan pada anak, dan menimbulkan asumsi bahwa dirinya
tidak cukup berharga untuk dikasihi, untuk disayangi dan dihargai; dan semua
itu akibat kekurangan yang ada padanya sehingga orang tua tidak sayang.
b. Kegagalan
Kegagalan yang terus menerus dialami seringkali
menimbulkan pertanyaan kepada diri sendiri dan berakhir dengan kesimpulan bahwa
semua penyebabnya terletak pada kelemahan diri. Kegagalan membuat orang merasa
dirinya tidak berguna.
c. Depresi
Terkadang, mengkritik diri sendiri memang dibutuhkan
untuk menyadarkan seseorang akan perbuatan yang telah dilakukan. Kritik
terhadap diri sendiri sering berfungsi menjadi regulator atau rambu-rambu dalam
bertindak dan berperilaku agar keberadaan kita diterima oleh masyarakat dan
dapat beradaptasi dengan baik.
d. Kritik internal
Orang yang sedang mengalami depresi akan mempunyai
pemikiran yang cenderung negatif dalam memandang dan merespon segala
sesuatunya, termasuk menilai diri sendiri. Segala situasi atau stimulus yang
netral akan dipersepsi secara negatif. Misalnya, tidak diundang ke sebuah
pesta, maka berpikir bahwa karena saya “miskin” maka saya tidak pantas
diundang. Orang yang depresi sulit melihat apakah dirinya mampu survive
menjalani kehidupan selanjutnya. Orang yang depresi akan menjadi super sensitif
dan cenderung mudah tersinggung atau “termakan” ucapan orang.
e. Menghargai
diri sendiri
Tidak ada orang lain yang lebih menghargai diri kita
selain diri sendiri. Jikalau kita tidak bisa menghargai diri sendiri, tidak
dapat melihat kebaikan yang ada pada diri sendiri, tidak mampu memandang
hal-hal baik dan positif terhadap diri, bagaimana kita bisa menghargai orang
lain dan melihat hal-hal baik yang ada dalam diri orang lain secara positif?
Jika kita tidak bisa menghargai orang lain, bagaimana orang lain bisa
menghargai diri kita ?
f. Jangan
memusuhi diri sendiri
We are what we think. All that we
are arises with our thoughts. With our thoughts, we make the world (The Buddha). Jadi, semua itu banyak tergantung pada cara kita
memandang segala sesuatu, baik itu persoalan maupun terhadap seseorang. Jadi,
kendalikan pikiran kita jika pikiran itu mulai menyesatkan jiwa dan raga.
g. Berpikir
positif dan rasional
Peperangan terbesar dan paling
melelahkan adalah peperangan yang terjadi dalam diri sendiri. Sikap menyalahkan diri sendiri secara berlebihan
merupakan pertanda bahwa ada permusuhan dan peperangan antara harapan ideal
dengan kenyataan diri sejati (real self). Akibatnya, akan timbul
kelelahan mental dan rasa frustrasi yang dalam serta makin lemah dan negatif
konsep dirinya.
2.4 Terjadinya prasangka sosial
Terjadinya prasangka social semacam ini juga disebut
pertumbuhan prasangka sosil dengan tidak sadar dan yang berdasarkan pada
kekurangan pengetahuan dan pengertian akan fakta-fata kehidupan yang
sebenarnnya daripada golongan-golongan orang yang dikenakan itu.
Suatu factor lainya yang lebih sadar dan yang dapat
mempertahankan serta memupuk prasangka social yang gigih, ialah faktor
kepentingan prseorangan atau golongan tertentu, yang akan memperoleh
keuntungannnya, atau rezekinnya, apabila mereka memupuk prasangka sosial itu
prasangka sosial itu seperti yang diuraikan oleh A.M. Rose (14) dalam brosur
Unesco : The rots of prejudice 1951, prasangka sosial dengan
demikian digunakan untuk mengeksploitasi golongan-golongan lainnya demi
kemajuan perseorangan atau golongan sendiri. Hal ini tampak pada penjajahan
diman akaum penjajah menggunakan dan memupuk prasangka-prasangka sosial antara
golongan-golongan yang dijajah demi keselamatan kelompoknnya sendiri (devide
et impera).Prasangka sosial terhadap golongan yang lain menimbulkan
halangan-halangan dalam pergaulan antar golongan dan kemudian dapat memecah
belah kerja sama yang wajar antar golongan tersebut.
2.4.1 Ciri pribadi orang berprasangka
Pekembangan prasangka sosial dapat disebabkan oleh
faktor-faktor ekstern pribadi orang, tetapi terdapat pula beberapa faktor inter
diri pribadi orang yang mempermudah terbentuknnya prasangka sosial. Menurut
beberapa penyelidikan psikologis, terdapatlah beberapa ciri-ciri pribadi orang
Yang mempemudah bertahannya prasangka sosial antara lain tidak toleran, kurang
mengenal akan dirinnya sendiri, kurang berdaya cipta tidak merasa aman memupuk
hayalan-hayalan yang agresif.
2.4.2 Usaha mengurangi prasangka sosial
Dalam usaha-usaha memerangi prasangka sosial antar
golongan itu kirannya jelas bahwa harus dimulai pada didikan anak-anak dirumah
dan disekolah oleh orang tua dan gurunnya.
Bagi bangsa kita ini, yang sejak kemerdekaanya telah
mengalami pahitnnya beberapa pemberontakan yang sebagian besarnnya turut
disebabkan, mungkin satu-satunnya disebabkan oleh adannya prasangka sosial,
karena masih terdapat akar-akar prasangka sosial antar golongan akibat zaman
kolonial dan bangsa kita yang menhadapi asa depan yang besar apabila seluruh
potensi masyarakat dapat berkembang tanpa prasangka sosial antar golongan,
kirannnya patut lebih berkenalan dengan gejala-gejala “prasangka sosial” serta
sebab-sebabnnya.

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Psikilogi olahraga sangat penting dalam disiplin
pengendalian diri. Karena bannyak hal bertentangan batin antara mengutamakan
kepentingan pribadi atau lebih mengutamakan kepentingan umum, merupakan tatangan
terhadap kuat-lemahnya disiplin individu. Oleh karena itu sebagai seorang atlet
bisa memiliki disiplin dan pengendalian diri baik dalam olahraga maupun dalam
bermasyarakat.
3.2 Saran
Penanaman disiplin dalam buku psikologi olahraga harus
dilandasi pengertian pokok mengenai pengendalian diri dan disiplin, yang
intinnya menanamkan kepatuhan yang didasarkan atas pemahaman dan kesadaran,
serta tanggung jawab.
![]() |
DAFTAR PUSTAKA
Gerungan, A. 1980. Psychologi Sosial. Jakarta: P.T. Eresco.
Gunarsa, Singgih, dkk. 1987. Psikologi Olahraga. Jakarta: BPK-GM.
Pate, Russel, dkk. 1964. Dasar-Dasar Ilmiah Kepelatihan. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Sears, David, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Setyobroto, Sudibyo. 1989. Psikologi Olahraga. Copyright.
Walgito, Bimo. 1981. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar