STRESS
DAN KECEMASAN DALAM OLAHRAGA

DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK 7
1.
MEGAWATI :
1531040078
2.
ARIFFURAHMAN : 1531040082
3.
EDDI SUGANDHI : 1531040084
4.
MUSTAKIM :
1531040086
5.
ANSAR :
1531040088
PENJASKESREK
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Olahraga
adalah sebuah yang ditinjau dari berbagai dimensi. Olahraga selaim dimensi
fisik olahraga juga dikaji dari dimensi psikis. Dimensi psikis atau jiwa dalam
aktivitas jasmani dan olahraga merupakan bagian terpenting dalam penampilan
seorang olahragawan. Beberapa keadaan psikologis yang terjadi pada olahragawan
sangatlah kompleks. Kompleksitas tubuh manusia dalam menghadapi respon dan
tekanan merupakan kondisi yang sering terjadi dalam aktivitas jasmani dan
olahraga.
Hal yang
sering terjadi dalam lingkup aktivitass jasmani dan olahraga adalah timbulnya
kegairahan, ketegangan, dan kecemasan. Terkait kegairahan para atlet butuh
untuk belajar mengontrol kegairahan meraka. Meraka harus bisa mengatasi kondisi
ketika mereka merasa lesu dan terpuruk (down) yang diakibatkan karena
rasa cemas atau nervous. Kuncinya adalah pada individu atlet sendiri,
yaitu dengan menemukan level permainan (motivasi) terbaik mereka tanpa
menghilangkan teknik dan konsentrasi meraka. Berbagai variasi dalam mengatur
motivasi secara detail yang akan bisa membantu setiap individu yang bergelut
dalam bidang olahraga dan latihan (fisik) mengatur tingkat tertinggi motivasi
mereka. Proses pertama dari proses ini adalah dengan belajar bagaimana mereka
menyadari atau menjadi care terhadap perasaan cemas dan kondisi motivasi
(kegairahan) mereka.
Terkait
dngan ketegangan (stress) khususnya olahraga kompetitif, atlet harus
mempunyai kemampuan dalam mengatasi berbagai stimulus yang berpotensi
memberikan pengalaman stress terhadap dirinya seperti sorakan dan
cemoohan penonton, perasaan sakit akibat terjadi cedera, kekalahan dalam
berbagai pertandingan, kelemahan yang dimiliki atlet baik kelemahan fisik
maupun kelemahan mental, atau sumber-sumber lain yang mengakibatkan terjadinya
stress.
Kecemasan
sebagai salah satu kajian psikologis yang unik dan menarik yang terjadi pada
manusia dan olahragawan. Kejadian-kejadian yang penting dalam menghadapi, saat
dan akhir pertandingan dalam olahraga sangat dipengaruhi oleh tingkatan
kecemasan dari pelaku olahraga, baik atlet, pelatih, wasit, maupun penonton.
Perasaan cemas diakibatkan karena bayangan sebelum pertandingan dan saat
pertandingan, hal tersebut terjadi karena adanya tekanan-tekanan secara
kejiwaan pada saat bermain dan sifat kompetisi olahraga yang didalamnya sarat
dengan perubahan dari keadaan permainan ataupun kondisi alam yang membuat
menurunnya kepercayaan diri dari penampilan olahragawan.
Kegagalan
para olahragawan kadang salah satunya karena adanya kekurang mantapan mental
yang terjadi karena adaanya jiwa pencemas dalam menghadapi pertandingan.
Perasaan cemas yang mengakibatkan terganggunya kemampuan individu atau tim
dalam mengeluarkan segala kemampuan fisik yang dimilikinya. Dengan sebab-sebab
kecemasan yang mengakibatkan menurunnya penampilan yang pada akhirnya membuat
kegagalan dalam pertandingan olahraga.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan
definisi stress dan kecemasan
2. Jelaskan
faktor stress dan kecemasan dalam olahraga
3. Cara
mengatasi stress dan kecemasan dalam olahraga
4. Gejala
– gejala stress dan kecemasan dalam olahraga
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui definisi stress dan kecemasan
2. Untuk
mengetahui faktor – faktor terjadinya stress dan kecemasan dalam olahraga
D. Manfaat
1. Untuk
menambahkan pengetahuan tentang definisi dari stress dan kecemasan
2. sebagai
bahan referensi
3. sebagai
bahan media pembelajaran
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi Kecemasan dan Stres
Anxiety
(kecemasan) adalah kondisi emosi negatif ditandai perasaan gugup, kuatir dan
takut dan diikuti oleh aktivasi atau arousal dalam tubuh (Weinberg & Gould,
1995 dalam Jarvis, 1999). Bisa dikatakan bahwa kecemasan adalah arousal yang
tidak nyaman. Cemas adalah kombinasi antara intensitas perilaku dan arah dari
emosi yang lebih bersifat negatif (Bird, 1986). Sebelum pembahasan lebih jauh, perlu
diberi pengertian beberapa istilah yang sering kali digunakan secara
bergantian. Istilah tersebut adalah kegairahan (Aurosal), kecemasan (Anxiety),
dan stress (Ali Maksum, 2007 : 56). Kegairahan adalah kesiapan psikis dan
fisiologis secara umum diri individu. Kecemasan adalah keadaan emosi negatif
yang ditandai oleh perasaan khawatir, was-was, dan disertai dengan peningkatan
aktivitas sistem tubuh. Stress adalah ketidakseimbangan antara tuntutan dengan
kemampuan untuk memenuhi tuntunan tersebut. Menurut freud, kecemasan adalah
fungsi ego yang membuat orang-orang waspada terhadap bahaya yang harus
ditanggulangi atau dihindari, yang pada kahirnyaperasaan cemas memungkinkan
orang-orang bereaksi terhadap situasisituasi mengancam dalam cara yang adaptif
(M. Fahmi, 1996 : 29)
Kecemasan adalah suatu pengalaman perasaan yang
menyakitkan yang ditimbulkan oleh ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern
dari tubuh. Ketegangan-ketegangan ini adalah akibat dari dorongan-dorongan dari
dalam atau dari luar dan dikuasai oleh susunan urat syaraf yang otonom,
misalnya kalau seorang menghadapi keadaan yang berbahaya hatinya berdenyut
lebih cepat, ia bernafas lebih pesat, mulutnya menjadi kering dan tapak
tangannya berkeringat (Calvin. S, 1890 : 83) Kecemasan adalah suatu sinyal yang
menyadarkan, ia memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan memungkinkan
seseorang mengambil tindakan untuk mengatasi ancaman (Kaplan, 1997 : 3).
Kecemasan memperingatkan ancaman cedera pada tubuh,
rasa takut, keputusasaan dari orang yang dicintai, gangguan pada seseorang atau
status seseorang. Pengertian umum, kecemasan merupakan suatu kekhawatiran
terhadap sesuatu yang tidak diinginkan akan terjadi pada diri seseorang
Stress
adalah proses dimana seorang individu merasa menerima tekanan dan meresponnya
dengan serangkaian perubahan-perubahan fisik dan psikis termasuk meningkatkan
arousal dan merasakan cemas. Jadi, stress mempunyai dimensi yang lebih luas
dibandingkan arousal dan anxiety. Kita merasakan stres ketika berhadapan dengan
tuntutan yang sulit untuk kita penuhi dan akan berdampak serius jika tidak
dilaksanakan. Jika stres berlangsung lama dan dengan kuantitas serta kualitas
yang tinggi, maka akan menjadi gangguan emosi yang berbahaya. Berbagai defenisi
mengenai Stress telah dikemukakan oleh para ahli dengan versinya masing-masing,
walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdaphpat
inti persamaannya. Selye (1976) mendefinisikan Stress sebagai “the nonspesific
response of the body to any demand”, sedangkan Lazarus (1976) mendefinisikan
“stress occurs where there are demands on the person which tax or exceed his
adjustive resources” (Golberger & Breznitz, 1982, hal. 39). Dari kedua
defenisi diatas tampak bahwa Stress lebih dianggap sebagai respon individu
terhadap tuntutan yang dihadapinya. Tuntutan-tuntutan tersebut dapat dibedakan
dalam dua bentuk, yaitu tuntutan internal yang timbul sebagai tuntutan
fisiologis dan tuntutan eksternal yang muncul dalam bentuk fisik dan social.
Hans Selye (1950) juga menambahkan bahwa tidak ada aspek tunggal dari stimulus
lingkungan yang dapat mengakibatkan stress, tetapi semua itu tergabung dalam
suatu susunan total yang mengancam keseimbangan (homeostatis) individu. Hans
Selye (1950) mengembangkan konsep yang dikenal dengan Sindrom Adaptasi Umum
(General Adaptation Syndrome) yang menjelaskan bila seseorang pertama kali
mengalami kondisi yang mengancamnya, maka mekanisme pertahanan diri (defence
mechanism) pada tubuh diaktifkan.
Kelenjar-kelenjar
tubuh memproduksi sejumlah adrenalin cortisone dan hormon-hormon lainnya serta
mengkoordinasikan perubahan-perubahan pada sistem saraf pusat. Jika
tuntutan-tuntutan berlangsung terus, mekanisme pertahanan diri berangsur-angsur
akan melemah, sehingga organ tubuh tidak dapat beroperasi secara adekuat. Jika
reaksi-reaksi tubuh kurang dapat berfungsi dengan baik, maka hal itu merupakan
awal munculnya penyakit “gangguan adaptasi”. Penyakit-penyakit tersebut muncul
dalam bentuk maag, serangan jantung, tekanan darah tinggi, atau keluhan-keluhan
psikosomatik lainnya.
Lazarus dan Launier
(1978) mengemukakan tahapan-tahapan proses stress sebagai berikut :
1. Stage of Alarm
Individu
mengidendentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Hal ini akan meningkatkan
kesiapsiagaan dan orientasinyapun terarah kepada stimulus tersebut.
2. Stage of Appraisals
Individu
mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang mengenainya. Penilaian ini
dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman individu tersebut.
3. Stage
of Searching for a Coping Strategy
Konsep
‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola tuntutan-tuntutan
lingkungan dan tuntutan int internal serta mengelolah konflik antara berbagai
tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang dibangkitkan oleh satu stresor
(sumber stress) akan menurun jika individu memiliki antisipasi tentang cara
mengelola atau menghadapi stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi
‘coping’ yang tepat. Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh
pengalaman atau informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana
stress tersebut berlangsung.
4. Stage of The Stress Response
Pada
tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut, seperti sedih,
cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri yang digunakan menjadi tidak
adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi kurang terorganisasikan dengan baik, dan
pola-pola neuroendokrin serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif.
Reaksi-reaksi seperti ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat
dan reaksi-reaksi untuk menghadapi stress yang berkepanjangan. Dampak dari
keadaan ini adalah bahwa individu mengalami disorganisasi dan kelelahan baik
mental maupun fisik.
Disamping
membagi stress kedalam tahap-tahap diatas, Lazarus juga membedakan istilah
istilah harm-loss, threat, dan challenge. Harm-loss dan threat memiliki
konotasi negatif. Keduanya dibedakan berdasarkan perspektif waktunya. Harm-loss
digunakan untuk menerangkan stress yang timbul akibat antisipasi terhadap suatu
situasi. Baik stress akibat harm-loss maupun threat pada umumnya akan dapat
berupa gangguan fisiologis maupun gangguan psikologis. Di lain pihak, challenge
(tantangan) berkonotasi positif. Artinya, stress yang dipicu oleh
situasi-situasi yang dipersepsikan sebagai tantangan oleh individu tidak diubah
menjadi strain. Dampaknya tehadap tingkah laku individu, misalnya tampilan
kerjanya menjadi positif.
Dalam
olahraga kompetitif, atlet harus mampu mengelola tuntutan-tuntutan dengan
mengidentifikasi kemampuannya. Efektifitas coping dalam olahraga merupakan
proses penyesuaian dengan penampilan atlet di dalam aktivitas olahraga,
maksudnya atlet melakukan coping terhadap situasi-situasi yang mengakibatkan
munculnya perasaan stress dan cemas. Dalam situasi tersebut, aspek harus yang
terlibat adalah kognitif, emosional, psikologis, dan komponen perilaku sebagai
kompetensi yang dimiliki atlet. Setiap sistem tersebut, merupakan kemampuan
(sumber-sumber, perilaku coping) yang mampu mengatasi tuntutan-tuntutan yang
mengakibatkan stress.
Madden
(1995) menjelaskan bahwa kesehatan (health) merupakan salah satu sumber coping
secara umum. Pernyataan tersebut, mengandung makna bahwa memelihara kesehatan
dengan baik merupakan sumber coping karena secara fisik dan psikis setiap atlet
akan siap menghadapi berbagai tuntutan yang datang pada dirinya. Upaya yang
bisa dilakukan adalah berlatih secara teratur dan melakukan kegiatan relaksasi.
Latihan
merupakan salah satu metoda coping dalam keadaan stress, stress dapat dikurangi
dengan melakukan latihan relaksasi, sehingga gejala-gejala kecemasan seperti
perasaan takut, ketegangan otot dan sebagainya
bisa dikurangi. Relaksasi juga merupakan teknik coping yang bisa
mengurangi tingkat arousal atau stress. Secara teoritis, latihan relaksasi
didasarkan pada prinsip Wolpe’s tentang principle of reciprocal inhibition
menganggap bahwa respon-respon maladaptive (ketegangan yang diakibatkan oleh
stress) dapat dihilangkan dengan menghadirkan sesuatu yang menantang atau
menghambat untuk memulai dan melakukan sesuatu. Jika atlet bisa mencapai
keadaan relaks, secara logika tidak konsisten dan berlawanan dengan keadaan
psikologis. Selain itu, Madden (1995) mengatakan strategi kognitif seperti
associative dan dissociative merupakan strategi coping pada atlet untuk
memfokuskan perhatiannya pada faktor-faktor yang relevan dengan penampilannya
(associative strategy), dan pemikiran atau perasaan yang membantu untuk
mengambil perhatian dari atlet pada kondisi fisiologis (dissociative
strategies). Pengaruh yang signifikan pada lingkungan yang terdiri dari stimuli
akan dirasakan atlet dalam pertandingan.
Konsep
coping terutama yang fokus pada kognitif, dalam prosesnya berbeda hubungannya
dengan lingkungan. Oleh karena itu, sistem coping dipahami berdasarkan strategi
hierarkhi yang berkembang dari yang belum matang (immature) dan mekanisme
primitif yang menyimpang dari kenyataan, kepada mekanisme yang matang. Lazarus
dan Folkman (1984) dalam Apruebo (1997) merumuskan strategi hierarkhi tersebut
sebagai bentuk mekanisme coping yang dimulai dari paling tinggi dan meningkat
pada kematangan proses ego, strategi ini merupakan mekanisme coping yang baik
untuk digunakan.
Jenis
kecemasan ditijau dari bagaimanaterjadinya kecemasan :
Kecemasan yang terkondisionir adalah
kecemasan yang merupakan hasil dari ”kondisioning” dari pengalaman masa lalu.
Kecemasan karena kekurangan keterampilan
(instrumental defisit) misalnya kecemasan yang terjadi pada orang yang pemalu,
terhambat dalam pergaulan, yang semakin ia menghindari pergaulan semakin ia
menjadi pemalu.
Kecemasan karena pernyataan diri yang
menimbulkan kecemasan misalnya yang disebabkan oleh proses berfikir yang
terus-menerus berlangsung dimana terjadi evaluasi yang negatif terhadap diri
sendiri.
Kecemasan karena tindakan yang dilakukannya
sendiri misalnya oleh karena pekerjaan yang dipilihnya terlalu berat atau
karena ia mengambil tanggung jawab yang terlalu berat.
Kecemasan yang dikaenakan lingkungan fisik
atau sosial yang gawat contonya kareana orang tua yan gterlalu kejam erhadap
anaknya. Tuntutan pelatih yang tidak realistis bagi kemampuan atlet.
B. Faktor-faktor Kecemasan dan Stres
dalam Olahraga
Faktor-fator
yang menyebabkan terjadinya ketegangan dalam lapangan
1.
Faktor
instrinsik terjadi karena kurangnya kesiapan mental individu
dalam menghadapi suatu pertandingan. Hal ini menyebabkan tidak tercapainya
performance maksimal atlet, mental yang tegar, sama halnya dengan teknik dan
fisik, akan didapat melalui pelatihan yang terencana, teratur dan sistematis
Dalam membina aspek psikis atau mental atlet, pertama-tama perlu disadari bahwa
setiap atlet harus dipandang sebagai individu yang satu berbeda dengan yang
lainnya, untuk membantu mengenal profil setiap atlel dapat dilakukan pemeriksaan
psikologis (psikotest) dengan bantuan psikometri. Profil psikologi atlet
biasanya beruapa gambaran kepribadian secara umum, potensi intelektual, dan
fungsi daya pikirnya yang dihubungkan dengan olah raga.
2.
Faktor
ekstrinsik terjadi karena adanya ketegangan mental yang timbul
dari lawan bertanding maupun provokasi supporter lawan, apabila mental
bertanding atlet itu baik maka berbagai macam provokasi dari siapapun tidak
akan berpengaruh terhadap performanya, akan tetapi apabila mental bertanding
atlet itu buruk maka performa terbaiknya tidak akan muncul, sehingga merugikan
diri sendiri, tim, dan clubnya
C.
Cara Mengatasi Kecemasan dan Stres
Cara-cara menanggulangi ketegangan dan kecemasan, khususnya dalam
menghadapi pertandingan:
1.
Mengidentifiksikan dan temukan sumber utama dan permasalahan yang
menimbulkan kecemasan dan ketegangan
2.
Melakukan latian simulasi, yaitu latian dibawah kondisi seperti dalam
pertandingan sesungguhnya, misalnya sparing partner dihadapan supporter baik
lawan maupun kawan.
3.
Mengusahakan untuk mengingat, memikirkan dan merasakan kembali saat-saat
ketika mencapai penampilan yang paling baik atau mengesankan.
4.
Melakukan latian relaksasi progesif, yaitu melakukan peregangan atau
pengendoran otot-otot tertentu secara sistematis dalam waktu tertentu.
5.
Melakukan latihan otogenic, yaitu bentuk latihan relaksasi yang
sistematis memikrkan dan merasakan bagian-bagian tubuh menjadi hangat dan
berat.
6.
Melakukan latihan pernafasan dengan bernafas melalui mulut dan hidung
secara sadar bernafas dengan mengunakan diafragma.
7.
Mengalihkan perhatian misalnya mendengarkan musik atau berkomunikasi
dengan kawan.
8. Menggunakan ”model training method” dengan
mengatur situasi komeptitif sedimikian rupa sehingga sama dengan keadaan aktual
dari situasi pertandingan, dengan maksud agar ia terbiasa menghadapi
bermacam-macam stres.
9. tres
sifatnya universiality, yaitu umum semua orang sama dapat merasakannya, tetapi
cara pengungkapannya yang berbeda atau diversity. Sesuai dengan karakteristik
individu, maka responnya berbeda- beda untuk setiap orang. Seseorang yang
mengalami stres dapat mengalami perubahan-perubahan yang terjadi.
D. Gejala Stres
1. Cary Cooper dan Alison Straw
mengemukakan gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini :
a.
Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan
tenggorokan kering, tangan lembab, merasa panas, otot-otot tegang,
pencernaanterganggu, sembelit, letih yang tidak beralasan, sakit kepala, salah
urat dan gelisah.
b.
Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas,
sedih, jengkel, salah paham, tidak berdaya, gelisah, gagal, tidak menarik,
kehilangan semangat, susah konsentrasi, dan sebagainya.
c.
Watak dan kepribadian, yaitu sikap
hati-hati yang berlebihan, menjadi lekas panik, kurang percaya diri,
penjengkel.
2. Menurut Braham,
gejala stres dapat berupa tanda-tanda,sebagai berikut :
a.
Fisik, yaitu sulit tidur atau tidak
dapat tidur teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan
pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal.
b.
Emosional, yaitu marah-marah, mudah
tersinggung, terlalu sensitif,gelisah dan cemas, suasana hati mudah
berubah-ubah, sedih, mudah menangis.
c.
Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau
pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi, suka melamun, pikiran
hanya dipenuhi satu pikiran saja
d.
Interpersonal, yaitu acuh, kurang
percaya kepada orang lain, sering mengingkari janji, suka mencari kesalahan
orang lain, menutup diri, mudah menyalahkan orang lain.
3. Hardjana (1994)
mengemukakan bahwa terdapat kriteria-kriteria gejala-gejala stress, antara lain
:
a.
Gejala
fisikal:
Sakit kepala, pusing, pening. tidur
tidak teratur, insomania atau susah tidur, bangun terlalu awal, sakit punggung,
terutama bagian bawah ,mencret-mencret dan radang usus besar, sulit buang air
besar, sembelit. gatal – gatal pada kulit. urat-urat tegang terutama leher dan
bahu, keringat berlebih, terganggu pencernaan atau bisulan, tekanan darah
tinggi atau serangan jantung, berubah selera makan, lelah atau kehilangan daya
energy, bertambah banyak melakukan kekeliruan dan kesalahan dalam kerja dan
hidup.
b.
Gejala
Emosional
Gelisah dan cemas, sedih, depresi, mudah menangis, merasa jiwa
dan hati atau mood berubah-ubah dengan cepat, mudah panas dan marah,
gugup, rasa harga diri menurun dan merasa tidak aman, rasa harga diri
menurun dan merasa tidak aman, marah-marah,
gampang menyerang orang dan bersikap bermusuhan, emosi mengering kehabisan sumber dayamental (burn out).
c.
Gejala
Kognitf
Susah berkonsentrasi dan memusatkan
pikiran, sulit mengambil keputusan, mudah terlupa, pikiran kacau, daya ingat
menurun, melamun secara berlebihan, pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja,
kehilangan rasa humor yang sehat, produktifitas atau prestasi kerja menurun,
mutu kerja yang rendah.
d.
Gejala
Interpersonal
Kehilangan kepercayaan terhadap orang
lain., mudah mempermasalahkan orang lain., mudah membatalkan janji atau tidak
memenuhi perjanjian, suka mencari – cari kesalahan orang lain atau menyerang
orang dengan kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan
diri, membiarkan orang lain.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas
maka penulis dapat simpulkan bahwa:
1.
Atlet harus dilatih agar tingkat Kecemasan, stress dan ketegangannya makin lama
makin rendah (tapi jangan hilang sama sekali) dan ambisinya untuk menang
semakin ditingkatkan.
2.
Menjadi semakin penting untuk memberikan latihan-latihan peredaan kecemasan,
stress dan ketegangan kepada atlet-atlet atau anak didik.
3.
petunjuk-petunjuk peredaan Anxiety dan kecemasan akan efektif apabila diberikan
pada saat-saat men¬jelang permulaan dan akhir pertandingan.
B. Saran
Membahas
tentang anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya maka ada
beberapa saran yang dapat digaris bawahi dalam makalah ini antara lain :
1. Didalam memahami anxiety dan stress dalam olahraga
serta pengendaliannya diharapkan setiap individu mampu dan memahami tentang
anxiety dan stress dalam olahraga serta pengendaliannya. Pada hakikatnya setiap
individu diharapkan mampu memahami anxiety dan stress dalam olahraga serta
pengendaliannya ini, yakni keluarga pendidik dan penentu kebijakan yang
berkepentingan didalamnya sebagai tempat atau wadah pengembang pendidikan agar
menjadi lebih luas dalam perkembanganan pendidikan terutama perkembangan psikologi
olahraga dalam pendidikan jasmani dan olahraga.
2. anxiety dan stress dalam olahraga serta
pengendaliannya tidak dapat dipisahkan karena ketiganya saling mempengaruhi
didalam meningkatkan dan mengembangkan prestasi atlet.
DAFTAR PUSTAKA
http://wulanyunitadari.blogspot.co.id/2016/04/definisi-stres-cemas-dan-frustasi-dalam_4.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar